UNJ Dalam Lintasan Sejarah Peringatan Peristiwa Mei 1998

Bagikan

  1. Home
  2. »
  3. Feature
  4. »
  5. UNJ Dalam Lintasan Sejarah Peringatan Peristiwa…

Berita Terbaru

Humas UNJ Raih Penghargaan 3 Tahun Berturut-turut pada Ajang AHI

Mahasiswa Prodi Pendidikan Tari dan Musik FBS UNJ Tampil dalam Pertunjukan Budaya Korea Selatan

UNJ Sambut Delegasi Saudi Fund for Development untuk Peresmian Tower SFD

Ketua MWA dan Rektor UNJ Apresiasi Mendiktisaintek dan Mendagri Untuk Tingkatkan Kampus Berdampak dan Dukungan Pemda Pada PTNBH

Perkuat Wawasan Praktis dan Pemahaman Terhadap Dunia Peternakan, UNJ Lakukan Kunjungan Ke Dua Peternakan Sukses di Indramayu

Tingkatkan Daya Saing SDM Konstruksi, FT UNJ dan Kementerian PUPR Berkolaborasi Gelar Uji Sertifikasi Kompetensi SDM Konstruksi 2025

Jakarta-Humas UNJ. Di balik hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, ada sebuah titik sejarah yang terus bergema di lorong-lorong waktu—Universitas Negeri Jakarta, atau UNJ. Ia bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan medan lahirnya idealisme dan perlawanan. Hari itu, 2 Mei 1998. Langit di atas Rawamangun tampak kelabu, seolah turut memikul beban sejarah yang perlahan menumpuk di halaman kampus UNJ. Dulu, UNJ dikenal dengan nama IKIP Jakarta, tempat para calon guru dibentuk dengan idealisme dan cita-cita. Namun pagi itu, bukan hanya buku dan kuliah yang menyibukkan para mahasiswa. Sesuatu yang lebih besar sedang bergolak di luar dan dalam tembok kampus.

Tahun 1998. Negara limbung. Harga melonjak, kepercayaan runtuh, dan di antara rakyat yang terengah-engah, berdiri tegak para mahasiswa. Mereka bukan prajurit bersenjata. Mereka hanya membawa buku, spanduk, suara—dan keberanian. Di balik pagar kampus, mahasiswa membaca koran yang penuh kabar krisis, menulis selebaran yang menyerukan perubahan, dan berdiskusi hingga larut malam tentang arah masa depan bangsa. Mereka menyadari bahwa krisis yang terjadi bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan, keberanian, dan masa depan demokrasi. Dari kampus ke kampus, dari IKIP Jakarta hingga Trisakti, suara yang sama menggema: reformasi, sekarang juga!

IKIP Jakarta di Mei 1998, bukan sekadar tempat belajar. Ia telah berubah menjadi titik kumpul keresahan dan kesadaran. Pada hari Pendidikan Nasional—2 Mei 1998, para mahasiswa IKIP Jakarta tidak hanya memperingati Ki Hajar Dewantara, tetapi juga menyalakan bara perjuangan. Spanduk-spanduk protes terbentang, orasi membahana di udara, dan langkah kaki mahasiswa menggema di lantai-lantai fakultas.  Reformasi atau mati!” teriak seorang mahasiswa di podium darurat yang dibuat dari tumpukan kursi. Suaranya serak, tapi penuh semangat. Di hadapannya, ratusan mahasiswa berdiri, mengepalkan tangan. Mata mereka bersinar—bukan oleh rasa takut, tapi oleh harapan. Mahasiswa IKIP Jakarta saat itu tidak ingin jadi generasi yang hanya mencatat sejarah. Mereka ingin jadi bagian darinya.

Sementara di balik pagar kampus IKIP Jakarta, aparat keamanan sudah bersiaga. Gas air mata dan pentungan menjadi bayangan gelap yang mengintai. Tapi keteguhan di mata para mahasiswa IKIP Jakarta tidak luntur. Mereka tahu, setiap kata yang mereka ucapkan bisa berujung luka. Namun mereka juga tahu, diam adalah pengkhianatan terhadap masa depan.

Hari itu, IKIP Jakarta menolak menjadi saksi bisu. Ia menjadi bagian dari suara kolektif bangsa yang menuntut perubahan. Di ruang-ruang kelas, kuliah tentang filsafat pendidikan berubah menjadi diskusi tentang keadilan sosial. Di halaman kampus, semangat reformasi membara, disulut oleh semangat kaum muda yang menolak menyerah pada ketidakadilan. Dan ketika malam mulai turun, Rawamangun tak lagi hanya dikenal sebagai tempat belajar. Ia menjadi medan sejarah, tempat mahasiswa IKIP Jakarta memilih keberanian daripada kenyamanan. Para mahasiswa IKIP Jakarta melakukan aksi di Jalan Pemuda menuju Salemba UI. Namun baru keluar kampus di Jalan Pemuda aparat sudah menunggu untuk dibubarkan. Dalam aksi pembubaran tersebut beberapa mahasiswa IKIP Jakarta ada yang terluka dan dirawat di rumah sakit.

Dan pada 12 Mei 1998 —tembakan menggema di Semanggi. Empat mahasiswa gugur ditembak peluru tajam di kampus Trisakti. IKIP Jakarta berduka bersama, tetapi tidak mundur. Dari ruang-ruang kuliah, mahasiswa keluar. Dari panggung-panggung diskusi, suara-suara kritis menguat. Kampus menjadi ruang perjuangan, bukan hanya tempat belajar teori, tetapi tempat mempertaruhkan masa depan bangsa.

Kini setiap tahun, UNJ khususnya mengenang 12 Mei. Bukan sekadar seremonial, tapi sebagai ritual perjuangan. Mahasiswa menyalakan lilin, bukan untuk menerangi kegelapan malam, tetapi untuk menjaga api idealisme agar tak padam. Suara doa bergema, bukan untuk sekadar mengenang yang gugur, tetapi untuk memastikan mereka tak sia-sia.

Kini, dua dekade lebih telah berlalu. UNJ adalah saksi. Ia pernah menjerit, pernah menangis, dan pernah berteriak lantang di tengah badai. Langit Jakarta kala itu kelabu, seolah ikut berkabung atas luka yang tak terlihat namun terasa dalam dada setiap anak bangsa. Dalam sejarah UNJ tak hanya mencetak guru, tetapi mencetak para pejuang reformasi. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan keteguhan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keberanian untuk terus kritis, terus peduli, terus bergerak. UNJ, dalam lintasan sejarahnya, terus merajut benang-benang perjuangan menjadi jubah harapan. Dan harapan itu terus dirajut dengan semangat membangun bangsa dan negara melalui berbagai aksi nyata kampus berdampak melalui tridharma perguruan tinggi. Selamat memperingati Hari Peringatan Tragedi Trisakti, 12 Mei 2025.