
Jakarta, Humas UNJ – Sejak 26 November 2025, Sumatra berubah menjadi ruang duka. Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) diporak-porandakan banjir besar yang membawa luka, kerusakan, dan kehilangan. Air bah menerjang pemukiman, merobek jembatan, memutus sekolah dari muridnya, dan meninggalkan desir perih di balik pintu-pintu rumah yang kini tinggal kenangan. Tak ada satu pun yang siap, dan tak ada satu pun yang membayangkan bahwa hujan yang seharusnya menyuburkan bumi justru berubah menjadi petaka yang menelan ratusan jiwa.
Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 4 Desember 2025, ada 776 nyawa yang tak kembali, 564 orang masih hilang tanpa kabar, dan 2.600 lainnya terluka. Aceh kehilangan 277 warganya, 193 masih dicari, dan 1.800 luka-luka. Di Sumut, 299 korban meninggal, 159 hilang, dan 610 terluka. Sementara Sumbar meratap kehilangan 200 jiwa, 212 lainnya belum ditemukan, dan 111 mengalami luka fisik. Namun luka paling dalam bukanlah pada tubuh, melainkan pada hati yang ditinggalkan dalam tanda tanya.
Infrastruktur yang rusak juga menjadi bukti betapa bencana ini tidak memilih tempat untuk singgah. Di Aceh, 204 jembatan hancur, 75 fasilitas pendidikan lumpuh, 48 rumah ibadah roboh, dan lebih dari 5.200 rumah berubah menjadi tumpukan kayu. Di Sumut, 27 jembatan patah, fasilitas kesehatan terdampak, dan 2.400 rumah rusak. Sementara di Sumbar, 64 jembatan terbawa arus, 65 rumah ibadah tak lagi berdiri, fasilitas kesehatan dan pendidikan tak lagi bisa digunakan, serta 2.800 rumah kehilangan bentuknya.
Di tiga provinsi itu, 3,3 juta jiwa terdampak. Tiga juta lebih manusia yang harus bangun setiap pagi hanya untuk menyangsikan apakah harinya akan lewat tanpa air mata. Dari pengungsian yang dingin, dari tembok sekolah yang runtuh, dari masjid yang terkubur lumpur, hingga rumah yang kini hanya tersisa rangka dan bahkan atapnya saja, para penyintas bencana ini tetap berusaha menggenggam secercah harapan yang tertinggal. Walau kerapuhan dan trauma masih menyelimuti langkah, mereka tetap bertahan dan percaya bahwa suatu hari luka ini akan menemukan jalan untuk pulih.
Dampak masif bencana tersebut pun turut membangkitkan empati kolektif seluruh elemen bangsa, tak terkecuali sivitas akademika Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Untuk membantu meringankan para korban bencana, UNJ melalui gerakan solidaritas bertajuk “UNJ Peduli” yang menggandeng “Rumah Amal UNJ” melakukan penggalangan donasi bagi penyintas bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Gerakan ini bukan sekadar poster dan seruan, tetapi ajakan untuk berempati bagi para korban bencana.
Sivitas akademika UNJ diajak menyisihkan rezeki, dan dapat menyalurkan bantuan donasinya melalui dua rekening resmi sebagai wadah kepedulian, yakni:
Bank Mandiri
No. Rekening: 00600-1343-5916
a.n Rumah Amal UNJ
(Tambahkan kode 50 di akhir nominal donasi — contoh: Rp 100.050)
Bank Negara Indonesia (BNI)
No. Rekening: 78-999-20-252
a.n Rumah Amal UNJ
(Tambahkan kode 50 di akhir nominal donasi — contoh: Rp 100.050)
Setiap transfer yang dilakukan dan sekecil apa pun nilainya menjadi bentuk kepedulian terhadap saudara sebangsa yang sedang mengalami musibah bencana alam yang luar biasa ini. Di balik angka yang tertera, tersimpan doa, empati, dan keinginan tulus untuk meringankan duka, membantu mereka bangkit, serta menegaskan bahwa dalam setiap bencana, bangsa Indonesia selalu berdiri bersama.
Namun UNJ tidak hanya menggalang bantuan dana, tetapi juga turut mengirim tim ke lapangan bencana. Pada 4 Desember 2025, enam relawan yang tergabung dalam tim UNJ Peduli diberangkatkan ke Padang, Sumatera Barat. Dua dosen dan empat mahasiswa itu dipimpin oleh Iwan Setiawan selaku Kepala Korpus Pengabdian kepada Masyarakat dan KKN LPPM UNJ. Mereka tak membawa kemegahan, tetapi membawa Nurani dan misi kemanusiaan dari UNJ.
Tugas tim UNJ Peduli memetakan dampak, mengumpulkan informasi akurat, berkoordinasi dengan pihak setempat, dan memastikan bahwa bantuan yang dikirim sesuai kebutuhan nyata penyintas. Selama empat hari, 4–7 Desember 2025, mereka menjadi mata, telinga, sekaligus hati UNJ di titik terparah bencana. Mereka akan menyusuri puing, mendatangi tenda pengungsian, mendengarkan cerita kehilangan, dan menyaksikan langsung bagaimana masyarakat Sumbar berjuang merajut kembali hidup yang tersisa.
Bahkan mungkin tim UNJ Peduli akan bertemu anak yang malam-malamnya penuh mimpi buruk, ibu yang tak sempat menguburkan suaminya dan sebaliknya, serta lansia yang kehilangan rumah yang dibangunnya dari jerih payah puluhan tahun. Di hadapan pemandangan itu, ilmu pengetahuan berubah menjadi panggilan kemanusiaan.
Laporan tim pertama ini akan menjadi dasar bagi UNJ untuk melangkah lebih jauh. Salah satunya adalah rencana pengiriman tim lanjutan yang fokus pada trauma healing, khususnya bagi anak-anak, perempuan, dan penyintas yang mengalami guncangan psikologis. Karena bencana tidak hanya meluluhlantakkan fisik, tetapi juga mental berupa rasa takut saat hujan turun, mimpi buruk tentang arus banjir, atau hening yang berubah menjadi cemas yang tak dapat dijelaskan.
UNJ memahami bahwa pemulihan harus menyentuh dua sisi, yakni membangun kembali ruang, dan membangun kembali jiwa. Maka selain logistik, UNJ juga akan menguatkan pendampingan, terapi, aktivitas pemulihan psikologis, dan langkah-langkah restoratif agar penyintas kembali percaya bahwa hidup masih berpihak pada mereka.
Bencana selalu meninggalkan luka. Tetapi di dalamnya, selalu ada ruang untuk kita memilih, yakni menjadi saksi bisu, atau bagian dari penyembuhan. UNJ memilih yang kedua. Di mana UNJ turut hadir bukan sebagai lembaga yang sekadar memberi, tetapi sebagai sahabat yang berjalan bersama lebih jauh. Hal ini juga sebagai komitmen UNJ sebagai kampus berdampak yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Sumatra kini perlahan bangkit, meski pijakannya masih rapuh dan bayang-bayang trauma belum sepenuhnya sirna. Di balik luka itu, ada hati masyarakat yang tidak menyerah dengan mata yang kembali belajar menatap hari esok, serta keberanian untuk memulai perjalanan baru dari puing-puing yang tersisa. Dalam proses pemulihan yang panjang, UNJ dengan niat tulus yang tumbuh dari empati seluruh sivitas akademikanya berharap dapat menjadi bagian kecil dari langkah membangun kembali harapan bagi masyarakat yang terdampak. Sebab bangsa ini selalu menyediakan ruang untuk saling menggenggam dan saling menguatkan, terutama ketika saudara sebangsa tengah dirundung duka akibat musibah yang begitu dahsyat.