Kesaksian Iwan Setiawan tentang Duka Sumatra Barat, “Ketika Air Bah Menghapus Kenangan Hidup Manusia”

Ikuti kami

Bagikan

  1. Home
  2. »
  3. Berita
  4. »
  5. Dorong Transformasi Digital untuk Pendidikan dan…

Berita Terbaru

Kantor Humas dan IP UNJ Raih 5 Penghargaan Pada Ajang IDEAS 2025, Dari Juara Budaya Inklusif hingga Manajemen Krisis

Humas UNJ Raih Penghargaan 3 Tahun Berturut-turut pada Ajang AHI

UNJ Peduli Serahkan Bantuan Donasi kepada PMI Kota Padang untuk Disalurkan kepada Korban Bencana di Sumatra Barat

UNJ Peduli Berikan Bantuan Logistik hingga Layanan Psikososial untuk Korban Bencana di Sumatra Barat

UNJ Peduli Serahkan Bantuan Donasi kepada UNP untuk Disalurkan kepada Korban Bencana di Sumatra Barat

FBS UNJ dan Dinas Kebudayaan DKI Bersinergi Majukan Budaya Betawi

UNJ dan CNAM Prancis Jajaki Kerja Sama Program Pascasarjana dan Double Degree

Jakarta, Humas UNJ – Di antara kabut pagi yang menggantung rendah di lembah Sumatra Barat, ada suara yang tidak pernah benar-benar hilang, yakni isak tertahan, langkah yang ragu, dan tarikan napas yang berusaha tegar meski tempat berlindung baru saja luluh lantak. Iwan Setiawan selaku Ketua Tim UNJ Peduli Bencana Sumatra, masih mengingat dengan jelas aroma lumpur basah yang menempel di udara saat ia dan timnya tiba pada 4 Desember 2025. Aroma itu bukan sekadar bau tanah, melainkan bau duka serta bau kehilangan yang tak pernah dapat sepenuhnya dijelaskan lewat kata-kata.

“Yang paling sulit bukan melihat rumah hancur,” ujar Iwan dalam satu jeda panjang ketika mengenang perjalanan itu.

“Yang paling sulit adalah melihat mata orang-orang yang kehilangan rumahnya dan kehilangan kenangan mereka bertahun-tahun di rumah tersebut,” ujar Iwan yang juga Koordinator Pusat Pengabdian Masyarakat dan Kuliah Kerja Nyata LPPM UNJ dan dosen FIKK UNJ.

Di hari pertama, tim UNJ Peduli bergerak ke wilayah yang paling parah terkena banjir dan longsor. Jalanan dipenuhi sisa-sisa kehidupan, dari kursi sekolah yang terdampar jauh dari kelasnya, buku-buku basah yang tak lagi bisa dibaca, pakaian yang tersangkut di batang pohon, dan mainan anak-anak yang berserakan tanpa pemilik. Di beberapa titik, lumpur mengering di dinding rumah sampai setinggi dada orang dewasa yang juga sebagai tanda betapa dahsyat air bah merangsek masuk tanpa memberi kesempatan bagi siapa pun untuk bersiap.

Iwan berhenti di depan sebuah rumah yang hanya menyisakan rangka. Tidak ada atap, tidak ada pintu dan hanya kerangka yang seolah berdiri melambangkan perlawanan terakhir. Di sudut rumah itu, ada sepasang sandal kecil yang tertimbun setengah oleh lumpur. “Saya tak tahu siapa pemiliknya. Tapi saya tahu, ada cerita yang hilang di sana,” kata Iwan dengan suara melembut.

Hari-hari berikutnya tim UNJ Peduli dipenuhi berbagai kegiatan kemanusiaan yang dilakukan bersama PMI Kota Padang, dari assessment kebutuhan warga, distribusi air bersih, pelayanan kesehatan, pembersihan material banjir, hingga layanan psikososial untuk anak-anak. Namun bagi Iwan, setiap kegiatan bukan sekadar tugas teknis. Ia adalah rangkaian kecil dari upaya merajut kembali hidup yang terkoyak.

Pembersihan material banjir, misalnya. Di salah satu rumah, seorang ibu paruh baya memohon agar tim membantu mengeluarkan lemari yang hancur. Lemari itu tampak tidak berharga bagi siapa pun yang melihatnya, di mana kayunya lapuk, isinya bercampur lumpur. Tapi ketika Iwan ikut mengangkatnya, sang ibu menangis. Di dalam lemari itu, ia menyimpan foto-foto almarhum suaminya. Walau sebagian besar foto itu telah rusak, dan ia tetap ingin menyelamatkan apa pun yang tersisa.

“Itu bukan sekadar lemari. Itu adalah sejarah cinta seseorang. Dan bencana merampasnya dalam hitungan menit,” kata Iwan lirih.

Ada pula seorang bapak tua yang terus berdiri memandangi puing rumahnya, seakan menunggu sesuatu kembali. Ketika Iwan mendekat dan bertanya apakah ia memerlukan bantuan, bapak itu menjawab perlahan, “Saya hanya ingin mengingat bentuk rumah saya sebelum saya lupa.”

Itulah yang paling menyayat, pikir Iwan yang bukan hanya kehilangan benda, tetapi kehilangan ruang hidup yang selama ini menjadi jangkar identitas. Sebuah rumah tidak hanya tempat bernaung, melainkan tempat manusia menaruh rindunya, marahnya, tawanya, dan segalanya yang disebut sebagai kehidupan.

Pelayanan kesehatan menjadi bagian lain yang membuka luka-luka tak kasat mata. Banyak warga yang mengalami kelelahan, infeksi ringan, hingga sesak napas akibat kondisi lingkungan, tetapi lebih banyak yang membawa beban emosional tak tertanggungkan.

Iwan masih mengingat seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun yang terus memegang tangan ibunya dengan erat saat diperiksa. Ketika salah satu anggota tim bertanya apakah ia takut, sang anak menjawab, “Bukan takut, Kak… cuma kalau aku lepas tangan mama, nanti mama hilang lagi.”

Anak itu telah kehilangan ayahnya yang terseret arus banjir.

Kalimat sederhana itu menancap dalam di benak Iwan. Dunia anak-anak seharusnya dipenuhi tawa dan mimpi, bukan ketakutan akan kehilangan orang yang ia cintai. Karena itulah layanan psikososial menjadi begitu penting. Tim UNJ Peduli mengajak anak-anak menggambar dan bermain. Tetapi beberapa gambar itu membuat Iwan terdiam lama, di mana rumah tanpa atap, pohon tercabut dari tanahnya, sungai besar berwarna cokelat pekat, dan matahari yang tertutup awan gelap.

“Anak-anak menggambar apa yang mereka lihat, dan apa yang mereka lihat adalah tanah kelahiran yang hancur,” ucap Iwan.

Sebelum meninggalkan wilayah bencana, Iwan kembali melihat ke belakang, ke jalanan berlumpur, ke rumah-rumah yang sunyi, dan ke wajah-wajah yang berusaha tersenyum meski hati mereka masih dalam duka. Ada rasa berat yang menetap di dadanya. Bukan karena lelah fisik, tetapi karena menyadari betapa rentannya hidup manusia di hadapan amukan alam.

Namun Iwan juga melihat sesuatu yang lain, yaitu ketabahan. Masyarakat yang saling membantu, anak-anak yang kembali berlari meski tertawa mereka masih pelan, dan para orang tua yang berjanji untuk membangun kembali apa yang hilang.

“Harapan selalu muncul. Bahkan dari tanah yang baru saja hilang bentuknya,” ucap Iwan pelan.

Ketika tim UNJ Peduli akhirnya berangkat meninggalkan Sumatra Barat pada 7 Desember 2025, Iwan tahu satu hal meski banyak yang telah hancur, manusia selalu punya cara untuk berdiri kembali. Yang diperlukan hanyalah uluran tangan, seberkas harapan, dan keyakinan bahwa setiap duka akan menemukan jalannya untuk pulih.

Dan selama itu masih ada, UNJ Peduli akan selalu hadir.