Jakarta-Humas UNJ. Ada semacam haru yang halus, desiran semangat yang tak kasatmata, dan riuh yang bukan semata euforia. Melainkan gema dari kerja sunyi para insan kampus yang menata sebuah perhelatan kebudayaan: Pekan Frankofoni Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Kegiatan ini dihadiri Duta Besar Prancis Fabien Penone, Duta Besar Mesir Yasser Elshemy, Duta Besar Swiss Olivier Zehnder, Duta Besar Belgia Frank Felix, COCAC, Direktur Institut Français d’Indonésie (IFI) M. Jules Irrmann, Nikolaos Argyris, Atase Kedubes Yunani, dan Alonso Martín Gómez-Favila, Atase Kedubes Meksiko.
Apa itu Frankofoni? Bagi banyak orang barangkali hanya sebuah istilah kebahasaan, sebentuk identitas pasca-kolonial, atau hari perayaan bagi komunitas berbahasa Prancis di dunia. Tapi bagi UNJ, Pekan Frankofoni bukan sekadar seremoni. Ia adalah panggung cita, ruang budaya, dan jendela masa depan. Tempat di mana bahasa bukan hanya alat ucap, tetapi tali yang menghubungkan dunia.
Ketika Prodi Pendidikan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNJ menggagas dan menggelar Pekan Frankofoni pada 20 Maret 2025 lalu. Mereka tidak sedang membuat festival biasa. Mereka sedang menyalakan obor peradaban. Di balik poster-poster acara, pementasan, pemutaran film, dan kelas budaya, tersembunyi sebuah tekad, menjadikan kampus ini sebagai simpul penghubung Indonesia dengan dunia Frankofon. Dan sungguh, kerja keras itu bukan hanya menyatukan para pelajar, dosen, dan alumni, tetapi juga menyentuh hati para diplomat, mitra lembaga Prancis, hingga mengejutkan dan membanggakan untuk mengundang perhatian Élysée.
Presiden Macron datang. Ya, Presiden Republik Prancis itu datang ke UNJ pada 28 Mei 2025. Bukan semata karena protokol kenegaraan, tetapi karena semesta budaya yang telah disulam dengan ketulusan. Ia hadir karena Frankofoni bukan hanya hidup di Paris, Montreal, atau Dakar, tetapi juga menyala di ruang-ruang kuliah kampus rakyat di Rawamangun.

Di sanalah dramanya dimulai. Ketika mahasiswa UNJ menyambut dengan salam dalam bahasa Prancis yang fasih, ketika puisi-puisi Prancis digaungkan di atas panggung yang sederhana namun sakral, ketika tari dan musik dari dua budaya berpadu dalam harmoni yang utuh. Semua membentuk simfoni diplomasi yang tak dapat diabaikan.
Pekan Frankofoni UNJ menjadi semacam lorong waktu, tempat di mana sejarah, budaya, dan pendidikan saling menatap. Dan di dalamnya, setiap peran memiliki arti. Panitia yang bekerja siang malam, dosen yang membimbing tanpa pamrih, mahasiswa yang tampil dengan penuh kebanggaan. Mereka semua adalah pemeran dalam drama besar yang menggugah hati seorang kepala negara untuk datang menyaksikan sendiri denyut semangat Frankofoni di negeri tropis ini.
Puncaknya bukan hanya kehadiran Presiden Macron, tetapi pengakuan dunia. Bahwa sebuah universitas negeri di Indonesia dapat menggelar perayaan Frankofoni dengan nilai budaya, akademik, dan diplomatik yang tinggi. Bahwa bahasa bisa menjadi jembatan yang kokoh. Bahwa pendidikan bisa menjadi panggung internasional.
Pekan Frankofoni di UNJ bukan lagi sekadar pekan. Ia adalah peristiwa. Ia adalah manifesto bahwa kampus ini mampu berdialog dengan dunia. Dan dalam jejak langkah Presiden Macron di koridor Rawamangun, kita membaca pesan yang dalam, “ketika budaya diperjuangkan dengan hati, sejarah pun bersedia singgah”. (syf)