Jakarta, Humas UNJ – Tentu bagi civitas Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pernah hadir di salah satu aula di Gedung Dewi Sartika, Lantai 2, Kampus A UNJ, yang bernama Aula Brigjen Latif Hendradiningrat. Nama aula ini tentu familiar bagi civitas akademika UNJ. Nama aula tersebut merupakan bentuk penghormatan dan mengenang jasa Rektor pertama UNJ yang dulu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta.
UNJ sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi ternama di Indonesia, memiliki sejarah yang tak lepas dari peran tokoh-tokoh besar yang meletakkan dasar dan arah perkembangan kampus ini. Salah satu tokoh sentral tersebut adalah Brigadir Jenderal TNI (Brigjen) Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat, yang merupakan Rektor pertama UNJ, atau yang dahulu dikenal sebagai IKIP Jakarta. Kepemimpinan dirinya tidak hanya mencerminkan sosok yang tegas, tetapi juga menggambarkan komitmen pada pendidikan sebagai alat perjuangan membangun bangsa.
Abdul Latief Hendraningrat lahir pada 15 Februari 1911 dan meninggal dunia pada 14 Maret 1983 dalam usia 72 tahun. Ia lahir dari pasangan Raden Mas Mochammad Said Hendraningrat dan Raden Ajeng Haerani. Ayah Latief adalah seorang demang atau wedana di wilayah Jatinegara yang berdarah ningrat Jawa.
Nama Abdul Latief Hendraningrat diceritakan oleh Mohammad Hatta dalam buku “Sekitar Proklamasi (1970)”. Pada buku itu, Mohammad Hatta menuliskan sekilas cerita tentang Latief Hendraningrat yang memakai seragam tentara Jepang saat menjadi petugas upacara bendera pertama usai proklamasi kemerdekaan. Mohammad Hatta tidak heran karena Latief adalah anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang. Rektor pertama UNJ ini adalah tokoh nasional yang dikenal luas karena perannya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Pada 17 Agustus 1945, anak-anak muda berdatangan menuju Lapangan Ikada (yang kini area tersebut bernama Monumen Nasional). Mereka mendengar bahwa di sana Soekarno dan Mohammad Hatta akan menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, sesampainya di Lapangan Ikada, tentara Jepang sudah siap dengan senjata lengkap. Rupanya deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukan dilakukan di Lapangan Ikada, melainkan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat yang merupakan kediaman Soekarno. Abdul Latief Hendraningrat tidak hanya mengamankan halaman depan rumah Soekarno yang digunakan sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan. Ia juga menempatkan beberapa prajurit PETA pilihannya untuk berjaga-jaga di sekitar jalan kereta api yang membujur di belakang rumah Soekarno.
Usai pembacaan teks proklamasi, Abdul Latief Hendraningrat bertindak sebagai pengibar sang saka Merah-Putih bersama Suhud Sastro Kusumo. Bahkan dalam berbagai sumber, Abdul Latief Hendraningrat, sebelum pengibaran sang saka Merah-Putih mengatakan, “Sayalah yang bertanggung jawab atas keamanan, berlangsungnya upacara yang sangat penting itu yang meresmikan lahirnya suatu negara baru: Indonesia Merdeka.” Kalimat Abdul Latief Hendraningrat ini tentu menggetarkan jiwa dan rasa nasionalisme yang begitu tinggi terhadap negara.

Abdul Latief Hendraningrat dalam kisah sejarah bangsa dikenal sebagai salah satu pengibar bendera Merah Putih pada upacara Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Selain pengibar bendera, Abdul Latief Hendraningrat juga terlibat dalam berbagai pertempuran di medan perang. Salah satunya terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan usai kedatangan Sekutu yang diboncengi Belanda yang tak lama setelah proklamasi dideklarasikan. Tindakan tersebut bukan sekadar simbol, melainkan cermin dari semangat nasionalisme dan keberanian yang luar biasa. Semangat itu pula yang kemudian ia bawa ketika meniti karier sebagai pemimpin di dunia pendidikan.
Pasca kemerdekaan, Abdul Latief Hendraningrat melanjutkan pengabdiannya kepada negara dengan menjadi atase militer RI di Kedutaan Indonesia untuk Filipina, dan Washington dari tahun 1950 sampai 1956. Setelah menjadi atase militer RI, Abdul Latief Hendraningrat langsung dipercaya untuk memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD). Sebelum pensiun dari ketentaraan, Abdul Latief Hendraningrat diberikan kepercayaan oleh Presiden Soekarno untuk menjabat sebagai rektor pertama IKIP Jakarta (sekarang UNJ) setelah lepas dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Indonesia. Dimana 16 Mei 1964, IKIP Jakarta resmi berdiri dan lahir sebagai institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Pada tahun 1964, ketika IKIP Jakarta didirikan sebagai institusi pendidikan tinggi yang fokus pada pendidikan guru dan tenaga kependidikan, Abdul Latief Hendraningrat dipercaya menjadi rektor pada periode 1964-1965. Penunjukannya sebagai Rektor IKIP Jakarta menunjukkan kepercayaan besar negara terhadap integritas dan kapasitas kepemimpinannya.
Sebagai Rektor pertama IKIP Jakarta (cikal bakal UNJ), ia menghadapi tantangan besar, yaitu membangun institusi pendidikan tinggi yang belum memiliki banyak infrastruktur dan sumber daya, namun memiliki harapan besar dari negara untuk mencetak tenaga pendidik yang profesional dan berkarakter. Dinamika dalam masa kepemimpinannya begitu penuh tantangan, dari persoalan internal institusi hingga suasana politik negara yang saat itu sedang tidak kondusif.
Namun di tengah tantangan tersebut, Abdul Latief Hendraningrat membawa nuansa kepemimpinan yang tegas, disiplin, namun tetap humanis. Ia menyadari bahwa pembangunan bangsa tidak hanya bergantung pada kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari pendidikan yang berkarakter. Oleh karena itu, arah kepemimpinannya difokuskan pada pembentukan institusi yang kuat secara akademik, namun juga kokoh dalam nilai-nilai moral, nasionalisme, dan tanggung jawab sosial.
Sejak dirinya tidak lagi menjabat sebagai rektor, semangat jiwa pendidiknya tetap terawat dengan mencurahkan segala perhatian dan tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan Organisasi Indonesia Muda hingga akhir hayatnya. Kakek dari Muhammad Gunawan Hendromartono atau yang lebih dikenal sebagai Gugun Gondrong ini memberikan warisan penting dari kepemimpinan selama menjadi Rektor berupa landasan nilai yang hingga kini terus dipegang oleh UNJ, yaitu pengabdian kepada masyarakat, kebangsaan, dan integritas.
Ia mengajarkan bahwa seorang pendidik bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk watak dan karakter bangsa. Kepemimpinannya menjadi inspirasi bagi generasi penerus bahwa nilai-nilai perjuangan tidak berhenti di medan perang, tetapi dilanjutkan di ruang-ruang kelas dan laboratorium pendidikan. Ia juga menanamkan nilai disiplin tidak boleh dipaksakan sebagai aturan kaku, melainkan sebagai budaya organisasi yang membentuk karakter mahasiswa dan tenaga pengajar. Nilai ini terbukti menjadi pondasi penting dalam perkembangan UNJ hingga hari ini.
Kini, UNJ di usianya yang mau memasuki ke 61 tahun telah berkembang pesat menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia dan menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) dan bereputasi dunia. Namun, sejarah tidak boleh dilupakan. Sosok Brigjen Abdul Latief Hendraningrat akan selalu dikenang sebagai tokoh yang tidak hanya memimpin secara administratif, tetapi juga membentuk jati diri kampus sebagai institusi yang berpihak pada kemajuan bangsa. Ketika sejarah mencatatnya sebagai pengibar bendera Merah Putih, dunia pendidikan dan khususnya UNJ mengenangnya sebagai pengibar semangat dalam membangun bangsa yang dimulai dari kelas, hingga kampus. Maka itu, membangun UNJ sama dengan membangun bangsa, negara, dan peradaban.