Jejak Dua Presiden di Tanah Ilmu Rawamangun: Soekarno Meletakkan, dan Macron Menyalakan Visi “Kota Mahasiswa” di UNJ

Bagikan

  1. Home
  2. »
  3. Feature
  4. »
  5. Jejak Dua Presiden di Tanah Ilmu…

Berita Terbaru

Humas UNJ Raih Penghargaan 3 Tahun Berturut-turut pada Ajang AHI

Dari Sekolah Binaan UNJ ke Sorotan Dunia: Jejak Emas Program France Track SMA Labschool Cibubur yang Menarik Langkah Presiden Prancis ke Rawamangun

Dari Panggung Frankofoni ke Panggung Sejarah: Hadirnya Presiden Macron di UNJ

Dari Kelas Labschool Cibubur ke Panggung Dunia: Program France Track dan Jejak Diplomasi yang Memanggil Presiden Macron ke UNJ

Ketika Bahasa Menembus Batas: Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FBS UNJ Menuntun Resonansi Langkah Presiden Macron ke Rawamangun

Mengawal Momentum, Merancang Masa Depan: Peran Strategis Wakil Rektor Kerja Sama dan Bisnis dalam Menyambut Kunjungan Bersejarah Presiden Macron ke UNJ

Jakarta-Humas UNJ. Pada 28 Mei 2025, Rawamangun mendadak menjadi panggung sejarah yang kembali hidup. Di sebuah kampus negeri yang dulu lahir dari semangat pendidikan rakyat, langkah-langkah Presiden Emmanuel Macron menggema tidak hanya sebagai prosesi protokol negara, tetapi sebagai gema masa lalu yang dibangkitkan. Ia datang ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ), ke jantung Rawamangun, tanah yang pernah ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno sebagai “City of Intellect”, tempat lahirnya Kota Mahasiswa Indonesia.

Lebih dari tujuh dekade lalu, di tahun 1953, Presiden Soekarno menandatangani dan meletakkan prasasti penetapan Rawamangun sebagai “Kota Mahasiswa” atau “City of Intellect”. Presiden Soekarno membayangkan sebuah wilayah di timur Jakarta yang bukan hanya tempat belajar, tapi pusat peradaban intelektual bangsa. Ia menanamkan tekad, bahwa dari tanah ini, akan tumbuh bangsa pembelajar yang akan memimpin masa depan Indonesia dan bahkan dunia.

Kini, ketika seorang kepala negara Prancis datang dan berdiri di tanah itu, sejarah terasa seperti kembali bernapas. Saat Presiden Macron melangkah di UNJ, ia mungkin tak melihat prasasti batu yang ditandatangani Bung Karno tujuh dekade lalu. Tapi semangatnya, jiwanya, dan bayangannya terukir di sekeliling. Ia berbicara tentang perubahan iklim, tentang perdamaian, tentang tantangan global, dan tentang harapan yang terletak di pundak generasi muda. Kalimat demi kalimatnya bergulir seperti menjawab harapan Bung Karno, bahwa “Rawamangun memang telah menjadi kota ilmu, kota mahasiswa, dan kota dunia”. Presiden Macron mungkin tidak menyadari, bahwa ketika ia berbicara di hadapan civitas UNJ, ia sedang mewujudkan cita-cita terdalam dari seorang proklamator bangsa dan negara, menjadikan Rawamangun sebagai simpul diplomasi pengetahuan. Jejak langka Presiden Macron laksana napas Presiden Soekarno yang hidup kembali.

UNJ bukan kampus dengan bangunan marmer megah atau aula yang mencakar langit. Tapi ia memiliki yang tak bisa dibeli dengan kekayaan, yaitu semangat keilmuan yang membumi, keteguhan untuk mengabdi, dan sejarah yang mengalir dalam tiap kelas dan lorongnya. Ketika Presiden Macron hadir, ia menyaksikan bukan hanya akademisi, tapi sebuah peradaban yang tumbuh diam-diam namun pasti dan jelas berarah.

Rawamangun hari itu menjelma panggung dunia. Dunia tidak hanya datang menonton, tetapi ikut berdialog. Bahasa Prancis terdengar berdampingan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Isu-isu global seperti perubahan iklim, perang yang mengoyak kemanusiaan di Ukraina dan Palestina, tentang kerja sama, solidaritas, dan bagaimana pendidikan menjadi satu-satunya jalan menuju dunia yang lebih adil, didiskusikan dengan semangat lokal. Dan di sanalah UNJ meneguhkan dirinya sebagai sebuah World Class University yang tetap berakar di bumi, tetapi menggapai cakrawala global.

Kunjungan Presiden Macron ke UNJ menandakan masa lalu bertemu dengan masa depan. Dimana pada Selasa, 15 September 1953, Presiden Soekarno meletakkan ”Prasasti Kota Mahasiswa” di Gedung Daksinapati (sekarang menjadi gedung Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ) yang menyatakan bahwa kawasan kampus ini sebagai ”Kota Mahasiswa” Jakarta. Saat itu, UNJ masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia sebagai Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Prasasti Kota Mahasiswa tahun 1953 bukan sekadar penanda fisik. Ia adalah deklarasi visi. Dan ketika Presiden Macron hadir, visi itu menemukan resonansinya. Dunia kini hadir di Rawamangun, bukan karena kebetulan, tetapi karena sejarah dan tekad yang telah ditanam sejak awal oleh para pendiri bangsa dan pengukir kemajuan IKIP Jakarta hingga UNJ saat ini.

Kunjungan Presiden Macron menjadi pengingat bahwa universitas sejati adalah tempat masa lalu dan masa depan yang saling bersalaman. Tempat seorang presiden dari negara Eropa yang maju dan berbicara dengan mahasiswa dari negeri berkembang tentang masa depan planet ini.

Presiden Macron beserta rombongan meninggalkan UNJ dikala senja turun pelan-pelan. Tapi jejaknya tak akan pernah padam. Di bawah bayang gedung Aula Latif Hendraningrat, sejarah hari itu akan terus diceritakan, bahwa pada suatu hari di 28 Mei 2025, Presiden Prancis pernah datang menyalakan kembali “Kota Mahasiswa”, tempat Bung Karno pernah bermimpi dan bangsa ini melalui civitas UNJ terus menjawab mimpinya. Rawamangun bukan lagi hanya halaman belakang Jakarta. Ia adalah halaman depan dunia. Dan UNJ, adalah pena yang terus menulis peradaban dari prasasti hingga diplomasi. (Sfy)