Jakarta-Humas UNJ. Di bawah langit Rawamangun yang teduh oleh semilir angin bulan Mei, sebuah peristiwa luar biasa menorehkan sejarah. Gedung-gedung Universitas Negeri Jakarta (UNJ) bergetar oleh gegap gempita, yaitu Presiden Republik Prancis, Emmanuel Macron, menginjakkan kaki di kampus ini. Bukan sembarang kunjungan. Ini adalah jawaban atas panggilan budaya, penghormatan terhadap kerja sama, dan di atas segalanya sebuah bukti bahwa sebutir benih yang ditanam oleh Prodi Pendidikan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNJ telah tumbuh menjadi pohon rindang yang menjangkau istana Élysée.

Tak banyak yang tahu, di balik gemerlap penyambutan dan pengawalan yang menggetarkan, berdiri sebuah barisan senyap namun tangguh, para dosen, mahasiswa, dan pimpinan Prodi Pendidikan Bahasa Prancis. Di ruang-ruang kuliah mereka selama bertahun-tahun, dialog tentang Victor Hugo, Alexandre Dumas, Jules Verne, Albert Camus, Simone de Beauvoir, hingga penerima nobel sastra Claude Simon, menggema lebih lantang daripada sekadar pelafalan passé composé. Mereka bukan hanya mengajarkan bahasa, mereka merawat semangat kebudayaan, membuka cakrawala, dan dengan gigih membangun jembatan diplomasi melalui kekuatan literasi dan pertukaran intelektual.
Adalah keyakinan mereka yang sederhana namun revolusioner, bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi alat transformasi. Dari sana, hubungan yang dibangun dengan Institut Français, Kedutaan Besar Prancis, hingga jejaring akademik di Paris, Bordeaux, dan Lyon perlahan mengkristal menjadi gagasan, yakni mengundang Presiden Macron ke UNJ.
Tentu, jalan menuju realisasi bukan hamparan sutra. Ada keraguan, ada keterbatasan, ada birokrasi yang mendaki seperti Pegunungan Mont Blanc. Namun Prodi ini tak gentar. Bersama Rektor, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Bisnis dan pimpinan FBS, mereka menyusun proposal demi proposal, menyusun narasi yang tak hanya menggugah, tapi juga memperlihatkan UNJ sebagai simpul penting dalam relasi kultural Indonesia-Prancis yang telah berlangsung 75 tahun. Sebuah relasi yang kini beresonansi lewat pendidikan, ekologi, dan teknologi berkelanjutan.
Dan akhirnya, hari itu pun tiba. Pada 28 Mei 2025, Presiden Macron datang. Bukan ke kampus yang sudah memantapkan diri internasionalisasinya, bukan ke balai konferensi besar, tapi ke kampus UNJ. Presiden Macron menyaksikan sendiri semangat mahasiswa yang belajar bahasa Prancis dengan mata berbinar, mendengar langsung kisah-kisah pengabdian dosen yang menyeberangi dua dunia budaya, dan menyadari bahwa di sudut Jakarta Timur ini, Prancis tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupi.
Sambutan dalam bahasa Prancis yang mengalun dari bibir mahasiswa UNJ bukan sekadar seremoni. Itu adalah puisi persahabatan, gema kerja keras, dan panggilan masa depan. Di tengah pidatonya, Presiden Macron menyebut UNJ sebagai “simbol kemitraan yang hidup antara Prancis dan Indonesia.” Di sanalah, air mata bangga menetes dari mata para pengajar Prodi Pendidikan Bahasa Prancis. Sebab mereka tahu, di dunia kadang kerap menghargai yang besar dan glamor, mereka telah membuktikan bahwa dari ruang-ruang kecil penuh buku, perubahan besar bisa dimulai.
Hari itu, Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FBS UNJ tidak hanya menyambut seorang Presiden. Mereka menyambut pengakuan dunia. Dan mereka membuktikan bahwa kata-kata, jika disemai dengan cinta dan dedikasi, bisa mengguncang sejarah. Karena ketika lidah Molière bersuara di Rawamangun, dunia pun mendengarkan.