Jakarta, Humas UNJ — Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menggelar seminar nasional bertajuk PenaWarna dengan tema “Perpustakaan sebagai Ruang Ketiga” pada Kamis, 19 Juni 2025. Kegiatan ini berlangsung di Aula Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta Pusat, dan menyoroti pentingnya penguatan peran perpustakaan dalam kehidupan masyarakat.
Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, antara lain Diki Lukman (Kepala Perpustakaan DKI Jakarta dan PDS H.B. Jassin), Reda Gaudiamo (praktisi budaya dan penulis), Maman Suherman (pegiat literasi), serta Taufik Asmiyanto (dosen Ilmu Perpustakaan dan Informasi serta penggagas Armanesia.co).
Selain sesi diskusi, acara juga diramaikan dengan bedah buku karya Leila S. Chudori berjudul “Namaku Alam”, yang diikuti oleh mahasiswa dan masyarakat umum.

Dalam sambutannya, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta, Nasruddin Djoko Surjono, menekankan pentingnya perpustakaan sebagai pusat literasi masyarakat. Ia mengajak peserta untuk memanfaatkan fasilitas perpustakaan yang tersedia di DKI Jakarta, serta menyoroti tantangan yang dihadapi dalam penguatan ekosistem penerbitan dan rendahnya skor PISA nasional.
“Melalui promosi dan pembenahan perpustakaan umum, kita berharap dapat meningkatkan literasi masyarakat dan prestasi PISA Indonesia,” ujarnya.
Koordinator Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi UNJ, Dimas Kurnia Robby, menyampaikan bahwa seminar ini juga bertujuan memperkenalkan prodi yang baru berdiri kepada publik.
“Dengan menghadirkan narasumber nasional, kami berharap Prodi Perpustakaan dan Sains Informasi UNJ semakin dikenal luas,” katanya.
Ia juga berharap mahasiswa dapat memahami pentingnya peran perpustakaan dan pustakawan dalam kehidupan sehari-hari.
Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ, Aip Badrujaman, menambahkan bahwa ilmu perpustakaan bukan sekadar mengelola koleksi buku, melainkan merupakan kajian luas yang bertujuan membangun masyarakat berbasis pengetahuan.
“Lulusan ilmu perpustakaan harus menjadi katalisator yang mampu memfasilitasi guru dan peserta didik untuk berkembang, serta menjadikan institusi pendidikan sebagai pilar peradaban,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tantangan literasi di era media sosial, yang memerlukan penguatan literasi digital di tingkat keluarga.
Sementara itu, Diki Lukman menyampaikan bahwa perpustakaan bukan sekadar gudang buku, melainkan ruang untuk berkumpul, berdiskusi, dan berliterasi. Ia mencontohkan PDS H.B. Jassin yang menyediakan ruang podcast, kelas diskusi, dan berbagai program literasi.
“Perpustakaan harus menjadi tempat belajar, berkarya, dan bertumbuh,” ujarnya.
Reda Gaudiamo menambahkan bahwa perpustakaan adalah ruang aman untuk belajar dan berkembang. “Bagi saya, perpustakaan bukan ruang ketiga, melainkan ruang pertama yang membentuk saya hingga hari ini,” katanya.
Ia menekankan pentingnya pembenahan akses agar literasi dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk daerah terpencil.
Maman Suherman, pegiat literasi, menyampaikan harapannya agar perpustakaan mendapat apresiasi lebih dari negara. Ia menekankan bahwa pustakawan harus menjadi agregator cerdas di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan.
“Pustakawan harus mampu melihat AI sebagai alat bantu, bukan ancaman,” ujarnya.
Taufik Asmiyanto dalam paparannya menjelaskan konsep “ruang ketiga” yang diperkenalkan oleh sosiolog Ray Oldenburg, yaitu ruang di mana masyarakat memiliki hak yang sama untuk berinteraksi dan memperoleh pengetahuan.
“Perpustakaan umum bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang sosial yang inklusif,” katanya.
Ia menekankan bahwa penguatan layanan dan program berbasis riset dan data lebih penting daripada sekadar infrastruktur dan teknologi.