Jakarta-Humas UNJ. Hari itu, Rabu 28 Mei 2025, langit Rawamangun tidak sekadar menggantungkan awan. Ia menggantungkan harapan. Di atas kampus yang sejak lama menyemai intelektual bangsa, tiba-tiba dunia datang mengetuk pintunya. Dan bukan sembarang dunia, yang datang adalah Emmanuel Macron, Presiden Republik Prancis, negara dengan warisan peradaban, sains, dan seni yang telah mengukir sejarah umat manusia.

Presiden Macron tidak hanya datang ke Indonesia. Ia datang ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Ke jantung pendidikan rakyat. Ke ruang yang dulunya menjadi aktor-aktor reformasi republik negeri ini dan kini menjadi arena perjumpaan dan diskusi global. Inilah hari ketika UNJ berdiri gagah tak hanya sebagai kampus nasional, tetapi sebagai mercusuar dunia. Sebuah World Class University yang menjawab panggilan zaman.
Presiden Macron tidak berdiri di podium yang tinggi. Ia tidak membentangkan peta geopolitik di depan mahasiswa. Ia menatap mereka, mata-mata muda penuh semangat dan ia bicara tentang masa depan. Tentang planet yang menjerit karena perubahan iklim. Tentang perang yang mengoyak kemanusiaan di Ukraina dan Palestina. Tentang kerja sama, solidaritas, dan bagaimana pendidikan menjadi satu-satunya jalan menuju dunia yang lebih adil.

Presiden Macron memilih berdialog langsung dengan kaum muda Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang seringkali dipenuhi ketegangan, kekerasan, dan polarisasi, ia datang ke UNJ untuk berbicara tentang harapan, perdamaian, perubahan iklim, dan kemanusiaan. Tema-tema global ini bergema dalam ruang Aula Latif Hendraningrat Kampus A UNJ, membentuk simpul bahwa universitas hari ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga pusat pembentukan peradaban dunia.
Kehadiran Presiden Macron adalah bukti bahwa UNJ bukan lagi hanya kampus penghasil guru. UNJ adalah arena diskusi global. Kampus ini bukan hanya mendidik, tetapi juga menjembatani. Bukan hanya mencetak lulusan, tetapi melahirkan pemimpin dunia.
Mengapa UNJ? Mengapa bukan kampus-kampus lain yang lebih dulu mengukuhkan gelar internasional? Jawabannya mungkin sederhana, tapi menggema dalam-dalam, karena UNJ memiliki roh. Roh yang sejak awal lahir dari semangat rakyat, semangat perubahan, semangat inklusif, dan semangat kemerdekaan intelektual. Roh yang mematri dedikasi intelligentia-dignitas (mencerdaskan dan memartabatkan).
Ketika Presiden Macron datang, ia tidak hanya membawa rombongan kenegaraan. Ia membawa simbol kepercayaan dunia. Dan UNJ menjawabnya bukan dengan kemewahan dan kemegahan layaknya panggung istana negara saat menyambutnya datang di hari pertama menginjakan kakinya di bumi pertiwi, tetapi UNJ menyambutnya dengan kehangatan, keramahan, dan orisinalitas, dengan semangat mahasiswa, siswa, dosen-dosen hingga karyawan yang rela menunggu berjam-jam demi menyambut tamu dunia.
Sebagai kampus yang terus bertransformasi menjadi World Class University, UNJ kini tak bisa lagi hanya mengandalkan tradisi. Ia harus melangkah lebih jauh, membangun jejaring global, memperluas kolaborasi riset internasional, dan melahirkan lulusan yang tak hanya kompeten, tapi juga kosmopolit. Kunjungan Macron membuka pintu-pintu itu, dari pintu kerja sama pendidikan, diplomasi budaya, pertukaran mahasiswa, dan riset bersama dengan universitas-universitas terbaik di Prancis.
Di tengah percakapan hangat itu, dunia melihat bahwa UNJ tidak hanya layak, tetapi sudah menjadi bagian dari percaturan global. Kunjungan Presiden Emmanuel Macron ke UNJ bukan hanya catatan berita. Ia adalah bab penting dalam narasi UNJ menuju kampus kelas dunia. Sebuah kunjungan yang menciptakan getar sejarah, menegaskan bahwa lembaga pendidikan bisa dan harus menjadi poros peradaban. Dan di kemudian hari, civitas UNJ akan mengenang, “Aku pernah duduk di bangku itu, ketika pemimpin dunia datang dan berbicara langsung kepadaku.” Dan dari pengalaman itu, lahirlah tekad baru, bahwa menjadi World Class University bukan sekadar soal ranking atau pemeringkatan semata, tapi tentang bagaimana kampus ini menjadi rumah dunia, tempat pengetahuan, nilai, dan harapan bersatu dalam satu nadi.
28 Mei 2025, dunia tidak hanya memperingati Hari Amnesti Internasional, tetapi dunia datang ke Rawamangun. Ia melihat UNJ. Cahaya pengetahuan dan harapan “intelligentia-dignitas” yang tengah dipersiapkan untuk menerangi semesta. (Sfy)